اَلْحَمْدُ لِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ .
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُهُ،
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَي اللهِ، اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Jamaah Jum’ah yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Haqqa tuqatihi, dengan sebenar-benar takwa berusaha menjalankan semua perintah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Dan janganlah kita sekali-kali meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan beragama Islam dan khusnul khotimah.
Jamaah Jum’ah Rahimakumullah
Syaikh Abdul Qadir Jailani, penghulu para wali. Beliau dikenal ketika memberikan tausiyah selalu menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami oleh para jamaah. Tetapi banyak jamaah yang disadarkan hanya dengan kalimat-kalimat sederhana. Suatu hari, putra beliau yang telah menuntut ilmu di berbagai tempat, menyaksikan sang ayah yaitu Syaikh Abdul Qadir memberikan tausiyah kepada para jamaah. Di dalam hati sang putra mengatakan, seandainya aku diberi kesempatan untuk berceramah niscaya banyak dari para jamaah akan menangis dan tersadar.
Suatu hari, Syaikh Abdul Qadir Jailani ingin mendidik sang putera. Maka di hadapan para jamaah beliau berkata, “Putraku, berdirilah dan bertausiyahlah kepada para jamaah.” Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Maka segera putra Syaikh Abdul Qadir Jailani ini memulai tausiyahnya dengan kalimat-kalimat yang indah dan memukau. Diselingi dengan dalil-dalil Al Quran, hadis, dan qoul-qoul para ulama. Tetapi anehnya, jangankan jamaah ini ada yang menangis, tertarik pun tidak. Bahkan para jamaah terkesan bosan dengan apa yang disampaikan oleh putra Syaikh Abdul Qadir tersebut.
Selesai sang putra memberikan tausiyah. Maka berdirilah Syaikh Abdul Qadir Jailani, dan di hadapan para jamaah beliau bertausiyah memulai kalimatnya, “Hadirin yang terhormat, semalam istriku ummul fuqara’ menghidangkan ayam panggang yang sangat lezat. Tiba-tiba seekor kucing menyambar ayam tersebut dan mengambilnya,” mendengar kalimat yang diucapkan oleh Syaikh Abdul Qadir tersebut, para jamaah histeris. Banyak di antara mereka menangis.
Melihat kejadian ini, sang putra menjadi heran. “Ketika saya bertausiyah, saya sampaikan Al Quran, hadis, mereka tidak ada yang menangis. Tapi giliran ayah menyampaikan sesuatu, yang sebenarnya tidak bermakna. Kucing mencuri ayam panggang. Mengapa para jamaah ini menangis?”
Rupanya, para jamaah menafsirkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir tentang kucing yang mencuri ikan di atas. Ada yang menafsirkan bahwa itu seperti manusia yang su’ul khotimah, ada juga tafsiran lain seperti amal baik manusia yang dicuri oleh setan, dan tafsiran-tafsiran yang lain. Mengapa, dengan kalimat yang sederhana tetapi mampu menyadarkan para jamaah untuk berpikir.
Hadirin Jamaah Jumah Rahimakumullah
Tidak lain karena Syaikh Abdul Qadir Jailani ketika menyampaikan sesuatu itu dengan hati. Apa yang keluar dari lisannya, sesungguhnya itu berasal dari hati. Sehingga apa yang keluar dari hati, akan mudah masuk kepada hati yang lain. Karena itu, sekarang banyak pemimpin, baik kenegaraan maupun keagamaan, yang tidak ditaati oleh rakyat dan umatnya.
Banyak penyebab yang melatarbelakanginya, sekarang rasanya sudah tidak ada pemimpin, yang banyak adalah pejabat. Kalau pun ada pemimpin, itu pun bermental pejabat. Cirinya adalah mereka lebih mengutamakan hak daripada kewajiban. Hak untuk mendapatkan tunjangan ini dan itu. Hak untuk mendapatkan mobil dinas, perumahan, dan sebagainya. Mereka minta dilayani, tapi tidak mau melayani. Mereka lupa bahwa hakikat pemimpin itu adalah pelayan sebagaimana kata Rasulullah SAW :
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
Hakikat pemimpin adalah pelayan. Maka ketika seorang pemimpin lebih mengutamakan hak daripada kewajibannya, tentu saja sulit akan diikuti dan ditaati oleh rakyat atau umatnya. Kedua, ketika mereka berbicara tidak menggunakan hatinya. Sehingga apa yang mereka bicarakan itu berbeda dengan apa yang mereka kerjakan. Padahal seorang pemimpin itu seharusnya mempunyai rambu-rambu. Ketika berbicara dan memberikan petunjuk hendaknya berdasarkan aturan-aturan, bukan hanya aturan negera tapi juga aturan Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوْا وَكَانُوْا بِآيَاتِنَا يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan diantara mereka pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
Di dalam surah lain, al-Anbiya ayat 73:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَآ إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيْتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوْا لَنَا عَابِدِيْنَ
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami. Dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk berbuat kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka menyembah.”
Artinya seorang pemimpin itu ketika berbicara dituntun oleh Allah, seharusnya. Tentu berbeda dengan pejabat. Karena itu, tidak salah apa yang dikatakan oleh Gus Dur, bahwa di Indonesia ini apa yang dikatakan itu berbeda dengan apa yang dikerjakan. Berbicara menentang korupsi, koruptor harus dihukum ini dan itu. Ternyata dia tertangkap tangan meneriman suap. Ini pejabat, bukan pemimpin. Maka menjadi sulit sekarang ini, kita mencari sosok pemimpin yang tepat untuk bangsa Indonesia ini.
Ketiga, karena mereka tidak bisa memberikan suri tauladan yang baik. Sehingga ketika seseorang itu sulit memberikan suri tauladan, maka yang lain pun akan sulit untuk mengikutinya. Padahal, satu perbuatan yang baik jauh lebih efektif daripada seribu kali berkata-kata. Maka kalau kanjeng Nabi lebih suka berdakwah bi al-hal, dengan perbuatan. Karena dakwah dengan perbuatan itu lebih efektif dibandingkan dengan dakwah lewat kata-kata.
Apalagi kita berkata-kata, berucap, dan merintahkan ini dan itu tetapi kita tidak mampu melaksanakannya. Maka, sesungguhnya kita semua ini adalah pemimpin. Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi. Kamu semua adalah pemimpim, paling tidak menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Maka hendaknya kita menjadi pemimpin yang baik, karena kita akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kita.
Semoga bermanfaat. Semoga kita menjadi pemimpin-pemimpin yang baik, dan kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang baik dan soleh. Sehingga negeri Indonesia ini akan menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur.
إِنَّ أَحْسَنَ الْكَلَامِ، كَلَامُ اللهِ الْمَلِكُ الْمَنَّانُ، وَبِالْقَوْلِ يَهْتَدُ الْمُرْتَضُوْنَ. مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ، وَمَنْ أَسآءَ فَعَلَيْهَا، وَمَارَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ مِنَ اْلآيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَاسْتَغْفِرُوْا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Oleh : KH. Fahmi Amrullah Hadzik (Pengasuh Pondok Pesantren Putri Tebuireng)
Pentranskip : Muhammad Sutan
Publisher : Munawara, MS
Sumber: Tebuireng Online
Blogger Comment
Facebook Comment